Jumat, 30 September 2011

SGEI: Menebar Guru Cerdas & Inspiratif

            Seringkali profesi Guru hanya dikejar karena aspek ekonomi semata. Masih ingat beberapa tahun lalu, tiba-tiba jurusan PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar) menjadi kelebihan mahasiswa karena beredar informasi bahwa tidak lama lagi akan pensiun ratusan ribu PNS Guru SD. Beberapa universitas baik negeri maupun swasta yang memiliki prodi PGSD bahkan menetapkan uang pangkal masuk yang aduhai, padahal dahulu prodi pendidikan adalah jurusan yang “kurang” diminati.

            Sekarang Guru sudah menjadi primadona, apalagi pemerintah sudah berkomitmen mengalokasikan 20% APBN untuk sektor pendidikan. Tugas berat selanjutnya adalah, mampukah para calon guru itu nantinya bekerja dengan hatinya (tidak hanya karena gajinya), mengingat menjadi guru memang memerlukan jiwa pengabdian? Kekuatiran seperti ini memuncak dengan fakta bahwa sejumlah kalangan menduga para guru lulusan baru hanya bisa mengajar, tapi tidak bisa mendidik, bekerjanya pun pas bandrol, jauh berbeda dengan guru-guru di masa lalu.
           Inilah kemudian yang menjadi alasan mengapa harus ada program Sekolah Guru Ekselensia Indonesia. “Menjadi guru memang mesti cerdas dan menginspirasi, terutama anak muridnya,” tegas Sri Nurhidayah, GM Pendidikan Dompet Dhuafa.
Peserta SGEI direkrut dari seluruh tanah air melalui cabang atau perwakilan Dompet Dhuafa dan mitra daerah. Mereka adalah fresh graduate dari jurusan kependidikan yang selama 5 bulan menjalani pelatihan intensif di Makmal Pendidikan, Lembaga Pengembangan Insani Dompet Dhuafa, di Parung, Bogor. Selama pembekalan, mereka diasramakan, full board, dan belajar selama 8 jam sehari (disetarakan jam kerja profesional).
             Selama belajar, mereka harus melalui serangkaian ujian yang dipandu langsung oleh trainer dari Makmal Pendidikan yang sudah teruji mengawal peningkatan kapasitas ratusan sekolah dan ribuan guru di tanah air. Peserta yang lulus, kemudian akan menjalani masa wajib magang di sekolah-sekolah yang “menantang”. Sebagian ada yang ditempatkan di Sekolah Beranda Dompet Dhuafa yang berlokasi di wilayah perbatasan RI, sementara yang lain ditempatkan di lokasi-lokasi yang jauh, guna melatih kemandirian.
Selama menjalani masa wajib mengajar 12 bulan tersebut, mereka diberikan tunjangan hidup (allowance) dan tinggal bersama sebuah keluarga yang ditunjuk sebagai keluarga asuh (induk semang) oleh Makmal Pendidikan LPI Dompet Dhuafa. “Ini tantangan yang tidak ringan, saya orang Makassar, harus mengajar dan tinggal bersama keluarga asuh dari Timor, di Kupang. Saya harus bisa beradaptasi dengan tempat mengajar, keluarga, masyarakat sekitar,” tutur Kartini (23), salah satu peserta SGEI asal Makassar, Sulawesi Selatan yang kini mengajar di Madrasah Ibtidaiyah Nurul Huda, Naikoten, Kota Kupang (14/9/2011)
Selain Kartini, ada juga Titin yang ditempatkan di Sekolah Beranda Dompet Dhuafa di Pulau Rote, pulau terluar wilayah selatan Indonesia. Di pulau yang sering disebut sebagai pulau yang memiliki letak 11 derajat Lintang Selatan (LS) itu dia harus mengajar di lingkungan yang multietnis.
            Kartini dan Titin adalah dua di antara 30 peserta SGEI yang saat ini tersebar di sekolah-sekolah mitra LPI Dompet Dhuafa di seluruh tanah air. Mereka adalah guru-guru muda yang cerdas, berdedikasi, dan sedang belajar tabah menghadapi dinamika dunia pendidikan.

Sumber: www.dompetdhuafa.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar